Entah
mengapa, hari ini saya begitu memperhatikan tingkah polah murid – murid saya di
sekolah. Mereka tampak ceria, berkejar – kejaran, bercanda dan bermain bersama.
Tidak ada beban yang sedikitpun terpancar dari wajah – wajah yang polo situ.
Saya dan guru yang piket siang itu
seakan larut dalam suasana masa kecil itu.
“
Mereka itu enak ya, bermain bersama, tidak punya beban sama sekali, terkadang
saya ingin seperti mereka, tertawa lepas, lugu dan bisa menikmati dunia ini
tanpa suatu masalah, walaupun mereka juga punya masalah.”, saya mulai berhayal.
“ Iya ya bu, mereka itu begitu menikmati hidupnya, tidak seperti kita yang
banyak masalah”, kata teman sesama guru ternyata tak jauh berbeda dengan apa yang
saya pikirkan. Sejenak kami sama – sama terdiam, melihat tingkah anak didik
saya yang sedang bergelantungan di atas mainan besi itu.“ Tetapi, dibalik
keluguan, keceriaan mereka seperti itu, saya mengkhawatirkan masa depan
mereka”, keheningan itu terpecah oleh oleh kataku. “ Sesungguhnya, zaman
seperti apa yang akan mereka hadapi nanti, kalau sekarang saja sudah seperti
ini, apalagi saat mereka sudah besar nanti, media yang sangat menawarkan gaya
hidup hedonisme, gaya hidup yang “ semau
gue, gue-gue-eloe, gaya hidup liberal, gaya hidup yang matrealistis, gaya
hidup yang seakan gebyar padahal rapuh. Saya sangat mengkhawatirkan mereka,
bumi kita sudah tua seperti ini juga, mereka bisa riang sekarang, tapi saat
mereka sudah seusia kita, apa yang akan terjadi nanti?, kasihan mereka, masih
lumayan kita ya?, curhat saya sebelum
bel masuk tiba.
Sekarang
mereka bisa diarahkan, mereka sekarang mudah dibentuk, tapi bentukan itu harus
senantiasa itqon dan istimror.
Sedikit – sedikit tapi kontinyu. Daya tarik mereka terhadap ilmu masih besar,
bahkan pengetahuan mereka tentang Tuhan walau masih sederhana tetapi sangat
mengena. Kata – kata mereka saat saya menerangkan suatu materi begitu membuat
saya terharu. “ Gunung itu
yang menciptakan Alloh ya Bu Guru?, Alloh itu ada dimana Bu?,
‘Arsy
itu dimana sih Bu?”, setiap tahunnya pasti ada pertanyaan – pertanyaan seperti
itu. Lalu, 10 tahun atau 20 tahun lagi, apakah pertanyaan mereka akan tetap
sama?, apakah sudah berubah menjadi kata
– kata : “ Tuhan nggak adil, ah, jangan
bawa nama Tuhan!akhirat ya akhirat, dunia ya dunia, atau ah jangan munafik loe
saat mereka ditawari suatu kemungkaran?
Apakah mereka masih ingat nasyid yang sekarang begitu senang
dinyanyikan?
“ Di syurga itu, mengalir sungai
susu,
Siapa yang mau ( aku ), akulah yang
mau”
Apakah
mereka masih ingat, apakah rasa kerinduan mereka akan syurga akan semakin
dalam, atau apa malah semakin dangkal tergerus syurga dunia yang sesaat?.
Sebuah
sistem yang terbukti unggul dalam mencetak generasi yang berkarakter Islami,
dan didukung SDM yang handal, mungkin bisa mengantarkan mereka menjadi manusia
yang syamil-mutakammil, yang menyeluruh.
Tapi bagaimana nanti saat mereka hidup dalam sistem yang jahiliyah?
Mau
– tidak mau, suka-tidak suka, repot atau tidak repot, keluargalah yang menjadi
peran utama. Keluarga merekalah yang akan membersamai mereka, bukankah waktu
mereka hanya sebentar bersama kami?
Anak
adalah asset terbesar bagi hidup kita, bayangkan ketika kita meninggal nanti,
alam kubur kita akan senantiasa terang benderang lantaran do’a-do’a dari bibir
mereka yang mengalun untuk kita, guru, maupun orang tuanya, dan bibir-bibir itu
tidak akan tergerak mengucap do’a manakala kita tidak mangajari dan menbiasakan
sampai menjadi sebuah akhlak.
Zaman
seperti apakah yang akan kau hadapi nanti, Nak?
Sebuah
kekhawatiran saat kalian akan pergi
meninggalkanku
Jogjakarta, 04 Juni
2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar