Pagi itu cuaca sangat cerah setelah satu pekan
Bantul diguyur hujan. Saya sudah siap di sekolah satu jam sebelum pembagian
rapor. Ya, hari itu agenda kami membagikan rapor. Watu berjalan dengan sangat
cepat. Ada satu rapor yang belum diambil. Saya bersabar untuk tetap menunggu.
Saat saya hendak keluar dari kelas, saya melihat
walimurid saya turun dari motornya. Saya bersiap menyambutnya. Suaranya serak.
Matanya merah. Setelah tandatangan, Saya menyampaikan hasil belajar putrinya.
Wanita itu terlihat sangat lelah.
“Alhamdulillah ya ibu, mbak Rara selama smester ini
banyak perkembangan, kalau dulu pertama kali sekolah suka memukul, sekarang
sudah tidak lagi, empatinya tinggi bu, dan bersemangat sekali kalau menghafal. Sosialisasinya juga baik,kemampuan kognitif,
bahasa, fisik motorik semuanya sudah baik Bu”…bla.bla.bla…..Saya terus
menjelaskan. Mata Ibu itu memerah, airmatanya menggenang sambil menceritakan
kondisi anaknya.
“ Alhamdulillah Bu Guru, Saya sangat bahagia Rara
sekolah disini. Banyak perkembangannya bu. Kadang saya kalau keluar rumah nggak
pakai jilbab suka ditegur. “Ibu…walaupun Cuma ke warung,kita itu harus pakai
jilbab loh Bu”, begitu katanya. Budenya juga sering ditegur. Rara itu anak yang
baik Bu, anak yang mau prihatin. Sebelum shubuh dia udah bangun, mandi, selalu
sholat ke masjid sama kakungnya, habis itu jam lima pagi Rara dan saya sudah
berangkat ke pasar Bantul. Dingin Bu, apalagi kalau hujan. Terkadang saya nggak
tega membawa Rara bersama saya. Tetapi kalau saya suruh libur dulu, dia bilang
“ Ibu itu gimana to Bu…kita itu harus bersemangat Bu.. nggak boleh menyerah
begitu saja”, katanya waktu itu. Saya terdiam, menangis dalam hati saya
mendengar cerita ibu itu. “Sampai di pasar Rara maem Bu, kadang juga ikut
kulakan barang juga”, ceritanya sambil menangis, Saya ulurkan beberapa tissue
kepada beliau. “Baru setelah makan, saya antar ke sekolah, makanya dia tidak
pernah terlambat”, tuturnya agak mereda.
“ Mbak Rara penempaannya sungguh luar biasa ya Bu, pantesan
Mbak Rara itu logikanya dan bicaranya itu sering seperti orang dewasa”, kataku
menimpali.
“iya Bu, dia itu dewasa. Ketika eyang utinya
meninggal kemarin dia sangat bersedih sampai sakit, bberapa hari kemarin saat
eyang kakungnya duduk bersamanya, dia bilang “Kung…dijaga kesehatannya ya kung…
kakung itu kalau meninggalnya kalau sekolahku sudah tinggi ya Kung..”,
kakungnya sampai nangis Bu. Saya mengucapkan banyak terimakasih kepada Ibu Guru
sekalian, nitip anak saya njih Bu”,tuturnya mengakhiri kisahnya.
…………………………………………………..
Hari itu, saya benar – benar mendapatkan sebuah
pelajaran hidup yang luar biasa. Pelajaran bagaimana tetap berdamai dengan
pahitnya kehidupan. Bagaimana menjadi pribadi yang tangguh lagi tidak pernah
menyerah. Subhanalloh…. Hari yang syarat tentang hikmah. Saya bersyukur telah
diberi kesempatan untuk membersamainya. Anak berumur3,7 tahun itu, telah
memberi contoh bagaimana kita mensikapi
kerasnya hidup. Rara…. Guru kecilku yang selalu di hati..