Kamis, 22 November 2012

Sepenggal Cerita Tentang Sebuah Restu Ibu



Terkadang, apa yang kita inginkan, tidak sesuai dengan kehendak ibu. Lalu, kita merasa ibu tidak memihak kita, tidak mendukung kita, bahkan, kita begitu tragis : menganggap ibu sebagai penghambat karier kita.
Sekali-kali tidak begitu. Adakalanya seorang ibu lebih tajam firasatnya, kita yang masih hijau, kita yang masih muda dan sering mengedepankan ego tak mampu menangkap nasehat arifnya.
Suatu saat, saya bersama seorang ibu dan tiga anaknya. Ibu itu sedang sakit yang serius,hingga anak-anaknya berkumpul. Mereka berempat sedang bercengkerama di kamar tidur ibunya. Pemandangan yang sangat langka. Barangkali, saat-saat itulah yang sangat dirindukan seorang ibu.
Bermula dari pembicaraan sekitar sakitnya ibu dan masalah-masalah keluarga, lalu bersambung ke arah TPA  ( Tes Peningkatan Akademik)PNS. Ceritanya, seorang putrinya yang PNS telah termasuk yang lolos TPA. Lima ratus orang se Indonesia. Tinggal tes TOEFL, kalau berhasil, ia mendapatkan beasiswa S2 program BAPPENNAS. Doakan ya ummi…semoga aku bisa lolos. Pinta putrinya.
“Ummi selalu mendoakan kalian, anak-anakku. Dan do’a ummi sudah dikabulkan sama Alloh. Ummi minta anak-anak ummi ada yang menjadi guru, biar pahalanya juga mengalir ke ummi,Alloh udah kabulkan. Ummi minta anak ummi kerjanya kantoran, sudah Alloh kabulkan. Ummi, berdo’a anak ummmi ada yang berdagang, juga sudah Alloh kabulkan. Dalam setiap sholat, ummi selalu menyebutkan nama kalian satu persatu”, kata ummi itu. Saya yang mendengarkan, tertegun dan mata saya mulai memanas.saya berusaha untuk tidak menangis di situ,dan saya yakin, yang lainpun juga pastinya begitu.
“Aku semakin yakin, bahwa restu ibu luar biasa. Dulu ketika aku lolos ujian  tertulis di STPDN, ummi tidak memberi restu. Ketika psikotes di semarang, aku bimbang dan akhirnya aku tidak lolos. Aku menyalahkan ummi yang tidak memberi restu waktu itu. Ummi takut karena pendidikan di STPDN setengah militer, seperti POLWAN. Padahal, disisi fisik, walaupun aku terkecil, aku sudah lihai naik gunung dan selalu mengikuti GTM ( Gladi Tangguh Medan, PMR ).Tapi yaitu tadi,karena tidak dapat restu,ya akhirnya ga lolos. Tetapi ternyata hikmahnya begitu besar. Tidak beberapa lama setelah kegagalan itu, beredar kabar bahwa ada mahasiswa STPDN yang meninggal akibat perilaku seniornya. Ya, mahasiswa itu adalah satu angkatan seandainya aku lolos. Itulah rahasia Alloh yang ia perlihatkan. Jadi,restu ataupun tidak ada restu dari ibu, terkadang menurut kita tidak baik, tapi akan baik di lain waktu”, cerita sang putri dengan berlinang.
Sayapun tertegun, merenung dan menyimpulkan. Maka jangan bermain-main dengan restu seorang ibu, karena bisa jadi, restu ibu adalah izin Tuhan yang dititipkan lewat hati lembut bernama Ibu.


Jogjakarta,
Mencintaimu Ibu…….

Rabu, 14 November 2012

HIJRAH : Dapatkan Ruh-nya

Realistis, bukan menyerah. Dakwah untuk semua manusia, bukan cuma untuk masyarakat Mekkah. Bila di sana masyarakat tak mau menerima, sedangkan di tempat lain ada tangan-tangan terbuka menerima dakwah, untuk apa ‘ngotot’ tetap berada di sana? Hijrah adalah sikap yang realistis. Bukan sikap gampang menyerah, juga bukan sikap keras kepala.

Seorang sales tentu tidak akan memaksakan diri menjajakan jualannya pada seseorang yang sudah menolaknya. Ketika ia berpaling dari orang tersebut dan berupaya menggaet pembeli lain, berarti ia sedang menuju pada kesuksesan dan tidak akan pernah diartikan ‘menyerah’.

Justru yang menyerah adalah yang bertahan dalam lingkungan yang zhalim. Padahal bumi ini luas. Kemenangan adalah saat kita mampu menyelamatkan diri dari kezhaliman dengan cara yang elegan.

Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri, (kepada mereka) malaikat bertanya : "Dalam keadaan bagaimana kamu ini?." Mereka menjawab: "Adalah kami orang-orang yang tertindas di negeri (Mekah)." Para malaikat berkata: "Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu?." (QS 4:97)

Bergerak, bukannya stagnan. Hijrah adalah suatu terobosan menghindari keadaan yang jumud (mandeg). Hijrah adalah manuver yang ter-skema dengan apik. Pendelegasian  seorang pembuka dakwah sebelum hijrah merupakan langkah yang brilian. Bahkan pilihan pada siapa yang akan menjalankan tugas, adalah pilihan yang sangat jitu. Mush’ab bin Umair. Seorang pemuda tampan yang keluar dari kehidupan borjuis menuju Islam, mampu memainkan peran dengan sukses. Dan Rasulullah pun dengan mulus melanjutkan manuvernya: hijrah ke Madinah.

Hijrah, manuver yang sama yang sudah diusulkan oleh seorang ‘alim kepada pembunuh 100 manusia. Sebelumnya, pembunuh itu berkonsultasi pada seorang Rahib mengenai kemungkinannya bertaubat. Tapi Rahib itu malah memvonis bahwa taubatnya tak kan diterima. Ia bunuh Rahib itu untuk menggenapkan 100 orang korbannya. Selanjutnya ia berkonsultasi pada seorang ‘alim yang penuh ilmu. Orang ‘alim itu menyuruhnya hijrah menuju kampung yang diisi orang-orang baik, meninggalkan kampung yang berisi orang-orang jahat. Itulah manuver elegan menuju kemenangan: Hijrah.

Konsistensi, bukannya tidak setia. Konsistensi harusnya hanyalah pada kebaikan, bukan pada keburukan. Dan untuk para Nabi dan pada da’i (du’at), kesetiaan hanyalah pada dakwah, bukan pada objek dakwah. Sekalipun objek dakwah itu kita cintai. Karena itu, hijrah adalah sikap konsisten untuk berdakwah secara berkesinambungan. Kalau objek dakwah menolak, maka demi menjaga kontinuitas dakwah, beralihlah pada mereka yang siap menerima dakwah. Karena kalau dipaksakan, dakwah tidak akan berkembang dan akan stagnan.

Rasulullah saw sangat mencintai kota Mekkah. Tapi kesetiaan pada dakwah membuatnya untuk patuh pada perintah Allah swt: Hijrah ke Madinah. Dan Rasulullah pun menempatkan sikap konsistennya pada tempat yang tepat.

Cinta tidak menjamin hidayah itu tertransfer mulus. "Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk." (QS 28:56) Kisah Abu Thalib telah membuktikan ayat ini. Karena itu, Ibrahim a.s. bukan lah tidak setia ketika ia meninggalkan bapaknya, Adzar. Ia mencintai bapaknya. Tapi demi dakwah, ia harus hijrah untuk menemukan lingkungan yang siap menerima dakwah. Ia setia pada dakwah.

Hijrah adalah konsistensi, manuver, dan kemenangan. Ketika Nabi Yunus a.s. pergi dalam keadaan marah meninggalkan kaumnya, itu bukan bentuk Hijrah. Karena Hijrah adalah manuver yang penuh perhitungan, bukan berlandaskan emosi. Hijrah adalah konsistensi, bukan berlandaskan ketidak-setiaan untuk terus membimbing umat dengan sabar. Hijrah adalah kemenangan, bukan menyerah kalah padahal Allah belum memerintahkan untuk hijrah. Saat para Nabi hijrah meninggalkan kaumnya, itu karena Allah telah memerintahkan begitu. Biasanya karena akan ada adzab untuk kaum tersebut.
sumeber: http://www.islamedia.web.id/2012/11/h-i-j-r-h.html

http://zicoofficial.wordpress.com/2011/12/03/hijrah/

1 Suro yang Menyisakan Luka



1 SURO
Hari ini adalah satu suro, orang-orang bilang seperti itu.
Malam satu suro beberapa tahun yang lalu saya mengalami suatu kejadian. Sangat tidak mengenakkan, sangat meninggalkan luka yang dalam di hati saya.Jam 5 sore sebelum kejadian, ada sms dari seorang teman di desa, ngajak kumpul-kumpul menyambut pergantian tahun. Katanya, akan ada pesta ayam bakar setelah jam 00 WIB (looh…bukannya pergantian tahun baru Islam itu maghrib, bukan jam 00?)
Pada waktu itu saya sedang sakit. Badanku lemas sekali. Dan hanya bisa berbaring di atas tempat tidur. So, aku minta ijin untuk tidak mengikuti acara tersebut, toh acara itu bukan acara formal kepemudaan. Setelah kejadian itu,aku dikucilkan. Aku merasakan ga enak banget. Seandainya waktu itu aku sehat, aku akan datang malam itu,walau hanya sekedar senyum saja disana, tapi waktu itu aku baru pulang dari rumah sakit, dan harus banyak istirahat. Mereka bisa saja melihat saya baru aja naik motor, tapi begitu sampai rumah?? Brreekk. Saya sering langsung terkulai tak berdaya. Aku memang over kegiatan, mungkin waktu itu aku kurang bisa memenejement tenaga dan fikiran.
Pada akhirnya saya tahu, bahwa waktu itu memang ada provokasi-provokasi yang ingin menghancurkan reputasiku(deuuu,kayak orang penting). Ada beberapa dari mereka yang mengakui bahwa dulu mereka di intimidasi. Ah…begitu jahat. Kita itu orang desa, harusnya tidak seperti itu… Kini, sang provokator itu telah pergi. Jau, dan takkan kembali. Aku bisa diterima kembali. Merka kadang ada yang curhat sama saya,walau via sms. Orang-orang tua dari masjid dan tokoh masyarakat memang merasa kehilanganku.. Karena, aku telah pergi dari mereka, aku hidup jauh dari mereka, aku tak ingin kembali, karena luka itu begitu perih, begitu dalam. Kini, biarkan aku di sini…sendiri..

Jumat, 09 November 2012

Saat Engkau Tak Ada



Aku telah merasa kehilangan dirimu
Dalam pagiku
Dalam siangku
Apalagi malamku

Aku telah merasa kehilangan dirimu
Sungguh berat bagiku
Mengeja dan membaca hari tanpamu
Seakan hilang
Seakan lenyap begitu saja

Aku telah merasa kehilangan dirimu
Saat terbangmu semakin meninggi
Saat tanpa sapa walau sekali
Dan  aku harus mengerti, memahami

Apakah jauh ini sebagai sebuah pertanda
"perpisahan"
Yang kau tawarkan dengan santun yang begitu rupa?
Apakah?
Dan apakah?
Entahlah, akupun tak berani menjawabnya.

Senin, 05 November 2012

Lelaki Itu, Tidak Lebih Hebat Dari Muridku

Ini adalah sebuah kegetiran jiwa, atau kemirisan jiwa. Tentang seorang laki-laki yang menurutku Tidak lebih hebat dari murid-muridku yang belum berumur 4 tahun.
Ceritanya, hari ini sekolah tempat saya mengajar akan mengadakan special day. "Wisata Kuliner", dimana murid-murid akan "membeli"  makanan tradisional.
Sudah dari jam tujuh pagi saya sudah siap di Pasar Bantul, mengambil pesanan ketan ireng dan otek serta dawet. Saya berdua dengan seorang teman. Saya memangku otek satu nampan, sementara seperti biasanya  punggung saya selalu menempel tas ransel. Saat melewati jalan sempit, masih di sekitar pasar, tiba-tiba ada lelaki dari arah berlawanan, dengan bermotor dan membawa "kronjot" (tempat membawa belanja dengan jumlah banyak) menyenggol/ menyerempet tas ransel dan pinggang saya. Saya terjatuh ke depan, sementara tas yang baru 2 pekan saya beli robek dan seluruh buku-buku saya berceceran dimana-mana. Padahal seh...itu tas tergolong lumayan bagus menurut saya. Huft... saya menahan kesakitan dan sedih saat itu. Alhamdulillah, ada dua bapak-bapak yang membantu memunguti buku dan dompet saya. Sedang lelaki yang menyerempet saya tadi tetap melaju tanpa berhenti sekedar untuk minta maaf.
Lelaki yang tidak pantas untuk menyandang sebutan lelaki. Saya menahan sejuta rasa. Ada kecewa..... Ada sedih... dan ada sedikit marah... Lelaki itu tidak lebih hebat dari muridku!! Ketika secara tidak sadar menginjak kaki temannya saja murid saya langsung minta maaf, Lah ini... sudah besar...boro-boro minta maaf, berhenti saja tidak!! Benar-benar tidak punya malu.
Yang membuat saya merasa sedikit "nelangsa" karena sudah dua hari ini saya bener-bener di uji sama Alloh...
Rasanya bener-bener dihati itu pingin berteriak (padahal kalo berteriak sih sah-sah ajaa, asal ga malu saja)
Setelah sampai sekolah, saya bersalaman dengan bu guru seperti biasanya sambil menahan sakitnya pinggangku.
Dan saya tak bisa menahan airmata saya saat bersalaman dengan seorang guru....Saya menangis untuk yang pertama kalinya di gedung kami yang baru..., untung saja belum banyak murid saya yang datang.( Tapi... ketika ada murid yang melihatpun menurut saya sah-sah saja... kan menangis itu boleh... asal tak lama-lama)
Menyadari hal itu saya langsung melepaskan pelukannya... Dan saya baru tersadar, ternyata ada walimurud bapak0bapak yang melihat kami. Huuaaaa..... sedikit malu sih... tapi sudahlah...toh, guru bukan malaikat...
Hm...hari ini betul-betul spesial...Alloh telah mendidik saya.
Saat catatan ini saya tulis, saya baru aja pulang dari sekolah, menunggu motor saya dicuci saya mampir di warnet....
Dan sekarang, saya akan segera pulang untuk siap-siap mengikuti kuliah esok pagi. Hm...kuliah?loh...tas ranselku gimana....?????????

Mama...airmataku jatuh lagi

mama....
pagi ini airmataku jatuh lagi
sungguh, aku telah menahannya agar tidak jatuh.
tapi terlanjur memanas di hati dan keluar dalam wujud air.
mama....
dia dan dia telah menyakitiku
dan telah membiarkan aku dalam kebingungan yang sangat
tanpa ada uluran  tangan saat aku memerlukannya
mama....
aku bukannya tidak mandiri,
aku hanya sedang bingung dan memerlukan sedikit pertolongan.
mama...aku akan berlari...pergi 
kurasa, hanya alloh tempatku berbagi
dan hanya kepada Alloh tempat berpulang nanti...
mama...maafkan anakmu..

Pada Sebuah Luka


Ternyata, luka yang tidak sengaja engkau goreskan beberapa bulan yang lalu
Masih terasa perihnya
Ternyata, duka yang kau berikan beberapa bulan yang lalu
Masih terasa getirnya

Tak perlu engkau datang kepadaku
Dengan segunung kata maafmu
Tak perlu engkau hadir dalam duniaku
Dengan segala sesal yang memenuhi hatimu

Aku sudah memaafkanmu
Sebelum engkau tersadar akan kesalahanmu
Aku sudah memaafkanmu
Pada saat hatiku pilu

tetapi cobalah kau tancapkan sebuah paku
Pada sebuah bambu
lalu cabutlah sang paku,
Benar, ia akan hilang, dan hilangnya paku akan meninggalkan bekas di tempat yang satu

Begitu juga hatiku
Memaafkan itu hal yang sangat mudah bagiku
Tetapi seandainya engkau bisa melihat hatiku
Ada satu bekas luka yang kau torehkan beberapa saat yang lalu.

Luka itu masih ada
dan aku butuh beberapa saat
Untuk mengeringkannya....

Mauku Dan Maumu

Mauku
Ternyata bukan selalu milikku
Mauku
Tak selalu sama dengan maumu

Dan mauku
Akan segera kutinggalkan demi maumu.
Tak selamanya apa yang aku mau
Baik untukku apalagi untukmu

Sungguh..
Aku telah lelah dengan mauku
Maka
Kini aku maui maumu

Engkau ingin menjauh dariku
Engkau ingin berhenti sejenak dariku
Engkau tak usah ragu.
Sebab maumu
Mungkin saja baik untukku..

LUKA ITU TELAH MATI


Ia siapkan kamar pengantin yang indah untuk kekasihnya
Lengkap dengan kasur yang empuk dan wewangian bunga.
Ia sendiri yang merangkai karangan bunga itu.
Dipungutinya tangkai demi tangkai
seolah-olah ia memungut kepingan cintanya yang telah pecah
Keikhlasannya telah membumbung tinggi ke langit,
Bahwa cintanya tak harus berakhir di pelaminan.
Ba'da dzuhur saat pesta pernikahan

yang begitu mendebarkan itu usai,
Tak ada air mata
Wanita itu begitu ikhlas menyaksikan orang yang selama ini dicintainya itu telah melabuhkan hatinya pada sahabatnya sendiri
Luka itu telah mati
Dan keikhlasan telah membuatnya semakin mengerti
bahwa cinta tak harus memiliki

"selamat datang di syurga kalian yang telah menanti penghuninya", kata wanita itu sembari membukakan kamar pengantin yang baunya telah menggoda dari luar.
"aku permisi dulu pangeran dan putri", pamitnya sembari membungkuk bak pelayan kepada tuannya. Begitu sempurna.
Lalu wanita itu membuka pintu avanzanya, meletakkan tas dan beberapa tangkai bunga yang masih wangi.
Dalam hatinya ia berkata:"kini, segalanya telah usai,nyaris sempurna"
Tiba-tiba.......Bbbbbbbrrrraaaakkkkkk. sebuah motor telah melintas tepat di depan mobilnya. Ia banting setirnya, namun sayang, ia membentur tiang listrik di tepi jalan.

ia mencium bau wangi bunga, tapi wanginya begitu luar biasa, ia dipapah seorang arjuna berpakaian putih yang memancar bak cahaya sambil menyapanya: "selamat datang bidadariku, aku telah menanti di syurga yang sesungguhnya,tempat yang lebih indah daripada syurga dunia". Wanita itu tersenyum mengangguk,ia ayunkan lengannya yang berbalut kain putih menyambut sang arjuna, diciumnya punggung tangan arjuna itu...ia tersenyum dan merasakan ketenangan yang luar biasa.
wajahnya begitu tenang, begitu damai....
Lalu sayup-sayup terdengar suara isak yang mengelilingi ruangan serba putih itu.
Ya... wanita itu telah mengeringkan, melenyapkan segala lukanya dengan sempurna.
para malaikat di langit telah menantinya, telah tercium bau wanginya. Bau yang berasal dari mawar keikhlasan yang telah sedang mekar-mekarnya.
Innalillaahi wa innailaihi rooji'uun. wajahnya ditutup dengan selembar kain putih.
Luka itu telah mati.
Ya....telah mati dengan sempurna, tanpa harus membuat luka yang baru di hati yang baru.

Veeda Alfauzteena, saat sebuah kisah melintas di khayalku

Aku Dan Sebuah Pintu


Menyusuri trotoar kota

Penuh panas dan berdebu

Udara menyesakkan kalbu

Kakiku yang telanjang terbakar

Oleh kerikil-kerikil tajam sepanjang jalan itu

Aku lelah dan kehausan

Sedang hujan tak kunjung datang

Peluh yang keluar karna ketergesa-gesaan tadi

Hampir membasahi bajuku yang sudah usang

Dan kulihat warna cat tembok rumahmu

Aku tersenyum, "ah, akhirnya aku sampai juga", batinku girang

Perlahan aku berjalan

Berharap agar kau ada.

Menyapaku

Dan memberi senyum yang sudah lama tak ku saksikan kau tersenyum

Tanganku bergetar mengetuk pintu rumahmu

Antara lelah dan penuh harap

Jantungku berdebar, cepat dan begitu cepat

Dua kali ku ketuk pintu pintumu

Satu dengan ketukan cinta

satu dengan ketukan rindu

Tapi tak ada suara.

Diam, sunyi dan sepi yang menyapa

Kali ini aku mengetuk pintumu dengan ketukan harap.

Sedikit keras dan sedikit lebih nyaring bunyinya.
Tiba-tiba engkau membuka pintu

Dan hanya kepalamu yang menyembul dari pintu

"Aku sedang sibuk", katamu dan menutup pintumu kembali

Aku tertunduk,dan berbalik
Berjalan dan setengah berlari.
Hingga aku benar-benar berlari, PULANG!
Menerobos diantara kerumunan orang dan riuhnya kota

Inikah jawaban atas kegelisahanku semalam?
Inikah jawaban atas kekhawatiranku kemarin?
Setetes, dua tetes akhirnya airmataku membasahi pipi
Dan lelahnya ragaku,
Dan letihnya jiwaku
Membawaku di alam mimpi
Dalam mimpi,aku bertemu dengan bidadari cantik,
Ia membawa tongkat kecil berujung tanda hati
Ia berkata: “bukankah engkau yang memulai,sayang? Rasakanlah lukanya.
Perih bukan?”
Lalu aku dipeluknya, begitu tenang, begitu damai
Hingga aku tak ingin bangun lagi…..

Jogja, saat pagiku telah hilang
Tuhan….
Turunkanlah hujan
Agar segar akasiaku
Agar tanah ini basah
Yang baunya telah lama tak bisa kucium

Tuhan…..
Turunkanlah hujan
Agar memori keindahannya
Selalu menancap di hatiku

Pada gerimismu yang menyapa
Pada derasmu yang menyejukkan
Pada anginmu yang mengajarkan harapan

Tuhan…..
Turunkan hujan.
Sekarang.
Dan aku akan bermain di bawahnya.
Menengadah ke atas dan merasakan kesejukan dan berkata:
Tuhan, hari ini begitu indah..

Jogja, saat menanti hujan turun-bersamanya

SUJUD TERAKHIR


Pada suatu sore yang basah
Ia terbaring lemah tak berdaya
Satu persatu kekalahan-kekalahannya kembali terlintas
satu persatu, lukanya kembali terasa perih
Dan airmatanya telah meleleh
Jatuh....pada kedua pipinya yang telah lelah

Pada suatu sore yang basah
Ia gelisah.
Bukan karena rasa takut akan sebuah kehilangan
Karena sejatinya kehilangan itu sebuah kepastian
Tapi kegelisahannya terletak pada hatinya
Hati yang telah lama gersang
Hati yang telah lama berkarat
Hatinya yang sedang sakit

Lalu diambillah air wudhu
Ia basuhkan ke wajahnya
Sejuk.....meresap ke dalam hatinya
Ia hadapkan wajahnya
Ia pasrahkan dirinya
"Tuhan.....aku ingin kembali, kepada-Mu, sedekat dulu"
Lalu ruku',i'tidal dan sujudpun terasa indah.
Dan pada sujud terakhirnya
Ia tersentak....
Sang Izro'il telah membawa ruhnya ke atas....
Ke langit, dan para malaikatpun mencium wanginya
Selamat tinggal dunia
Aku telah bersabar atas segala luka yang ada