Malam telah menyapa. Udara terasa dingin saat seorang menantu duduk di kursi keluarga.
Ia sedang bercengkerama dengan ibu mertuanya. Kedua wanita itu ternyata
mempunyai persamaan, yaitu sama-sama suka bercerita.
“ Sudah malam, Nak.
Masuklah kedalam kamar. Anak lelakiku pasti sudah menunggumu”, kata Sang Ibu
mertua.
“ Baik Ibu, tetapi
sepertinya beliau sedang keasyikan online, atau malah sudah tidur, terimakasih
Ibu”, jawab Sang menantu sambil mengecup kening Ibu mertuanya.
“Hm…romantisnya
ngalah-ngalahin anakku sendiri”, batin Sang Ibu sambil melambaikan tangannya
dan masuk ke dalam kamarnya, di lantai atas.
Setelah berwudhu, Aisyah,
nama wanita itu membuka pintu kamarnya. Ya, kamar yang baru ditempatinya
sehari. Pondok Mertua Indah. Aisyah tak mendapati suaminya dikamarnya. Ia
tertegun. Diam.
“Sstt….seandainya aku
tak tahu bahwa tadi ibuku terlalu bersemangat
bercerita, maka aku akan memanggilmu sedari tadi, honey”, bisik Sang
Suami sambil menyergap dari belakang sambil menutup mata istrinya.
“Tetapi aku menantu
yang baik, yang rela mendengarkan cerita Ibu mertua, meski akupun segera ingin
menemuimu”, jawab Aisyah sambil tersenyum.
“Good! Istri yang
cerdas!”, puji Sang suami sambil mencubit kedua pipi istrinya.
“Aow..kalau ga cerdas,
pasti ga akan Mas pilih”, bisiknya lirih
“Ah….ndak juga…aku
memilihmu bukan karena kecerdasanmu kok!, tapi karena engkau ke-i-bu-an!, jawab
Sang suami sambil menatap istrinya. Tatapannya setajam mata elang.
“Hm….bukan keibuan…tapi
wajahku emang kayak ibu – ibu, aku nyadar kok!, timpal sang istri sambil
manyun.
“Ndak…..jangan marah gitu, aku jujur kok. Begini, aku tidak
memilih wanita karena wajahnya, tetapi sifatnya. Nah…sifat keibuanmu itu yang
paling aku sukai, dan paling aku butuhkan. Aku menikah bukan untuk diriku
sendiri, tetapi untuk anak – anakku kelak. Mereka harus dibesarkan oleh wanita
yang keibuan, penuh kelembutan tapi tegas, cekatan tapi tidak kaku, sederhana
tapi elegan. Dan aku tidak pernah menjumpai wanita yang mencintaiku yang
mempunyai sifat keibuan melebihi dirimu,Ais, ituu kenapa aku memilihmu untuk
menjadi istriku, menjadi ibu dari anak – anakku kelak, sekarang sudah mengerti
bukan?”, jelas lelaki itu tanpa memalingkan muka.
Ia tertegun, tak
percaya. “Perasaan baru SMA aku bisa pake rok. Kehidupanku keras, jadi korlap
saat ada aksi mahasiswa, jadi “satgas” saat kampanye.naik gunung dll, sekarang,
aku sudah bersiap-siap jadi ibu”, tanya Aisyah bimbang.
“ Heroik…bukan berarti
tidak keibuan, keibuan…bukan berarti tidak heroik!, jawab sang suami sambil
mengulurkan sebuah kado. “Ini untukmu, kekasih seumur hidupmu, itu ungkapan
hatiku yang tertunda”. Aisyah mengulurkan tangan untk mengambilnya.
“Eeiiitss…nanti dulu,
disini hanya ada aku dan engkau, kenapa permaisuriku tetap memakai jilbabnya?,
bukankah sebaiknya berdandan di hadapanku?”, goda sang suami sambil
mengacak-acak jilbab istrinya. Yang diacak-acak bersemu merah. Lalu melepas
jilbabnya dan merapikan rambutnya. Setelah itu, ia mengambil sebuah kado dari tangan suaminya.
“Apa ini isinya ya?
Makasih ya Mas”, ujarnya sembari membuka kado. Hatinya membuncah. Sebuah buku
berwarna ungu, sampulnya ada fotonya dalam bingkai berbentuk hati, dibawah foto
ada sebuah tulisan “ Untaian Puisi Untuk Bidadariku “. “ Waaah…..”, seru wanita
itu takjub. “Gimana?, nggak suka ya?, dikira intan permatakah? Sang suami
langsung merenspon dengan pertanyaan. “Sstt….. aku lebih suka Mas kasih puisi
daripada sebongkah emas. Emas hanya akan melenakan, sedangkan puisi dari
mas…..bikin aku tambah sayang, dan kalau aku tambah sayang…pasti Alloh tambah
sayang juga padaku”, jawabnya dengan mata berbinar.
“ Kapan Mas buat puisi
– puisi ini?”, tanya Aisyah kepada suaminya.
“ Sejak Mas berniat
menikahimu, tetapi kurahasiakan, sampai engkau benar-benar berhak menerimanya.
Dan saat inilah waktu yang tepat”, jawabnya dengan pelan.
“ Untung aku jadi istri
Mas ya,kalau enggak….”, kata Aisyah mengambang.
“ Kalau enggak, engkau
akan sakit dan opname seperti dulu saat engkau patah hati”, jawab suaminya
sambil nyengir.
“Haah…kok tahu?”, Tanya
Aisyah tersipu
“Mbak ipar sama ibu
yang kasih tahu”, jawabnya singkat.
“Hm…Mas seperti Sahabat
Ali ya… bisa merahasiakan perasaan sebelum jelas-jelas menjadi pendampingku”,
puji Aisyah kepada suaminya.
“Amiin…tapi Engkau,
duhai Aisyah bidadariku, tidak seperti Fatimahnya Ali yang juga merahasiakan
perasaannya sampai jelas-jelas tiba waktunya”, ledek suaminya.
“He.he.he.he…, tetapi
aku ingin seperti Fatimah dalam hal yang lain, biarkanlah jari-jariku melepuh
karena mengerjakan pekerjaan rumah sendiri tanpa seorang khadimat, sesibuk
apapun diriku”, tutur pengantin baru itu. Ia begitu menikmati barisan-barisan puisi dari suaminya, tak jarang, ia menyeka airmata harunya.
Detak jam begitu jelas
terdengar. Jarum panjangnya menunjuk ke angka 12. Hawa begitu dingin, padahal
rumahnya hanya sekitar 2 KM dari alun-alun kota.
“ Disini dingin sekali
ya? Bisa masuk angin kalau terus-terusan disini”, kata Aisyah sambil menarik
selimut.
“ Kalau nggak disini
emang mau dimana? Orang sini sudah biasa dengan hawa dingin. Kalau bagian timur
beku kalau pagi. Bisa kaku kalau mandi, daerah pinggiran barat juga. Kita harus
bisa adaptasi dengan lingkungan yang baru, kalau tidak, kita akan tumbang sendiri”, nasihat pertama dari
sang imam keluarga. Sang istri mengangguk tanda setuju.
Malam itu, bulan
purnama tengah tersenyum di langit. Cahayanya
masuk diantara genting kaca kamarnya. Hingga sepasang kekasih itu tak henti
menatapnya.
“Rembulan begitu indah
istriku…dan aku telah menemukan rembulan di langit hatiku”, kata lelaki itu
seraya menggenggam jari istrinya.