Selasa, 09 Juli 2013

Seperti Ali, Tak Seperti Fatimah



Malam telah menyapa. Udara terasa dingin saat seorang menantu duduk di kursi keluarga. Ia sedang bercengkerama dengan ibu mertuanya. Kedua wanita itu ternyata mempunyai persamaan, yaitu sama-sama suka bercerita.
“ Sudah malam, Nak. Masuklah kedalam kamar. Anak lelakiku pasti sudah menunggumu”, kata Sang Ibu mertua.
“ Baik Ibu, tetapi sepertinya beliau sedang keasyikan online, atau malah sudah tidur, terimakasih Ibu”, jawab Sang menantu sambil mengecup kening Ibu mertuanya.
“Hm…romantisnya ngalah-ngalahin anakku sendiri”, batin Sang Ibu sambil melambaikan tangannya dan masuk ke dalam kamarnya, di lantai atas.
Setelah berwudhu, Aisyah, nama wanita itu membuka pintu kamarnya. Ya, kamar yang baru ditempatinya sehari. Pondok Mertua Indah. Aisyah tak mendapati suaminya dikamarnya. Ia tertegun. Diam.
“Sstt….seandainya aku tak tahu bahwa tadi ibuku terlalu bersemangat  bercerita, maka aku akan memanggilmu sedari tadi, honey”, bisik Sang Suami sambil menyergap dari belakang sambil menutup mata istrinya.
“Tetapi aku menantu yang baik, yang rela mendengarkan cerita Ibu mertua, meski akupun segera ingin menemuimu”, jawab Aisyah sambil tersenyum.
“Good! Istri yang cerdas!”, puji Sang suami sambil mencubit kedua pipi istrinya.
“Aow..kalau ga cerdas, pasti ga akan Mas pilih”, bisiknya lirih
“Ah….ndak juga…aku memilihmu bukan karena kecerdasanmu kok!, tapi karena engkau ke-i-bu-an!, jawab Sang suami sambil menatap istrinya. Tatapannya setajam mata elang.
“Hm….bukan keibuan…tapi wajahku emang kayak ibu – ibu, aku nyadar kok!, timpal sang istri sambil manyun.
“Ndak…..jangan  marah gitu, aku jujur kok. Begini, aku tidak memilih wanita karena wajahnya, tetapi sifatnya. Nah…sifat keibuanmu itu yang paling aku sukai, dan paling aku butuhkan. Aku menikah bukan untuk diriku sendiri, tetapi untuk anak – anakku kelak. Mereka harus dibesarkan oleh wanita yang keibuan, penuh kelembutan tapi tegas, cekatan tapi tidak kaku, sederhana tapi elegan. Dan aku tidak pernah menjumpai wanita yang mencintaiku yang mempunyai sifat keibuan melebihi dirimu,Ais, ituu kenapa aku memilihmu untuk menjadi istriku, menjadi ibu dari anak – anakku kelak, sekarang sudah mengerti bukan?”, jelas lelaki itu tanpa memalingkan muka.
Ia tertegun, tak percaya. “Perasaan baru SMA aku bisa pake rok. Kehidupanku keras, jadi korlap saat ada aksi mahasiswa, jadi “satgas” saat kampanye.naik gunung dll, sekarang, aku sudah bersiap-siap jadi ibu”, tanya Aisyah bimbang.
“ Heroik…bukan berarti tidak keibuan, keibuan…bukan berarti tidak heroik!, jawab sang suami sambil mengulurkan sebuah kado. “Ini untukmu, kekasih seumur hidupmu, itu ungkapan hatiku yang tertunda”. Aisyah mengulurkan tangan untk mengambilnya.
“Eeiiitss…nanti dulu, disini hanya ada aku dan engkau, kenapa permaisuriku tetap memakai jilbabnya?, bukankah sebaiknya berdandan di hadapanku?”, goda sang suami sambil mengacak-acak jilbab istrinya. Yang diacak-acak bersemu merah. Lalu melepas jilbabnya dan merapikan rambutnya. Setelah itu, ia  mengambil sebuah kado dari tangan suaminya.
“Apa ini isinya ya? Makasih ya Mas”, ujarnya sembari membuka kado. Hatinya membuncah. Sebuah buku berwarna ungu, sampulnya ada fotonya dalam bingkai berbentuk hati, dibawah foto ada sebuah tulisan “ Untaian Puisi Untuk Bidadariku “. “ Waaah…..”, seru wanita itu takjub. “Gimana?, nggak suka ya?, dikira intan permatakah? Sang suami langsung merenspon dengan pertanyaan. “Sstt….. aku lebih suka Mas kasih puisi daripada sebongkah emas. Emas hanya akan melenakan, sedangkan puisi dari mas…..bikin aku tambah sayang, dan kalau aku tambah sayang…pasti Alloh tambah sayang juga padaku”, jawabnya dengan mata berbinar.
“ Kapan Mas buat puisi – puisi ini?”, tanya Aisyah kepada suaminya.
“ Sejak Mas berniat menikahimu, tetapi kurahasiakan, sampai engkau benar-benar berhak menerimanya. Dan saat inilah waktu yang tepat”, jawabnya dengan pelan.
“ Untung aku jadi istri Mas ya,kalau enggak….”, kata Aisyah mengambang.
“ Kalau enggak, engkau akan sakit dan opname seperti dulu saat engkau patah hati”, jawab suaminya sambil nyengir.
“Haah…kok tahu?”, Tanya Aisyah tersipu
“Mbak ipar sama ibu yang kasih tahu”, jawabnya singkat.
“Hm…Mas seperti Sahabat Ali ya… bisa merahasiakan perasaan sebelum jelas-jelas menjadi pendampingku”, puji Aisyah kepada suaminya.
“Amiin…tapi Engkau, duhai Aisyah bidadariku, tidak seperti Fatimahnya Ali yang juga merahasiakan perasaannya sampai jelas-jelas tiba waktunya”, ledek suaminya.
“He.he.he.he…, tetapi aku ingin seperti Fatimah dalam hal yang lain, biarkanlah jari-jariku melepuh karena mengerjakan pekerjaan rumah sendiri tanpa seorang khadimat, sesibuk apapun diriku”, tutur pengantin baru itu. Ia begitu menikmati barisan-barisan puisi dari suaminya, tak jarang, ia menyeka airmata harunya.

Detak jam begitu jelas terdengar. Jarum panjangnya menunjuk ke angka 12. Hawa begitu dingin, padahal rumahnya hanya sekitar 2 KM dari alun-alun kota.
“ Disini dingin sekali ya? Bisa masuk angin kalau terus-terusan disini”, kata Aisyah sambil menarik selimut.
“ Kalau nggak disini emang mau dimana? Orang sini sudah biasa dengan hawa dingin. Kalau bagian timur beku kalau pagi. Bisa kaku kalau mandi, daerah pinggiran barat juga. Kita harus bisa adaptasi dengan lingkungan yang baru, kalau tidak, kita  akan tumbang sendiri”, nasihat pertama dari sang imam keluarga. Sang istri mengangguk tanda setuju.
Malam itu, bulan purnama tengah tersenyum  di langit. Cahayanya masuk diantara genting kaca kamarnya. Hingga sepasang kekasih itu tak henti menatapnya.
“Rembulan begitu indah istriku…dan aku telah menemukan rembulan di langit hatiku”, kata lelaki itu seraya menggenggam jari istrinya.

Jangan pergi





Kemarin
Semalam
Hari ini
Aku benar – benar telah kehilanganmu
Benar – benar seperti engkau telah pergi dan tak kembali.
Dunia terasa mati.
Gelap dan sesak.
Lalu engkau datang dengan tiba-tiba
Menyapa dan berkicau
Seperti matahari yang menghangatkan bumi.
Seperti hujan diantara kemarau.
Seperti elang yang hinggap di akasia
Cinta,
Jangan pergi-pergi lagi.