Kamis, 06 Juni 2013

Mengajar itu....wisata hati yang

" Kalau saya sudah stres bu,kalau harus ngurus 17anak playgroup seperti ini", kata salah seorang wali murid saya saat awal tahun pelajaran baru kemarin. Hm....sudah menjadi pertanyaan dan sekaligus pernyataan yang hampir tiap tahun saya dengar dari wali murid. Yeaach... mendengar tangisan, anak ngompul, muntah, berantem dll memang tidak nyaman. Tetapi ingat, kita baru menjalani proses. proses yang sangat paaaanjaaang. " saya kalau ga ngajar malah stres bu", jawab saya mantab.
Mengajar itu menyenangkan, mengajar itu bagi saya wisata hati yang sangat bernutrisi, bervitamin dan bergizi untuk meraih hati yang sehat dan bahagia. Bukan sekedar cari uang, atau status sosial. karena bagi saya status itu ga penting, yang penting bagaimana Alloh memandang kita.
Saya sangat tertarik dengan kata - kata dosen mata kuliah Hadits Tarbawi.  Bahwa mengajar, mendidik itu harus dengan cinta dan kasih sayang. Yupz..betul, harus dengan kasih sayang, artinya tak ada kekerasan didalamnya. Premanisme yang merebak saat ini mungkin karena dulunya ada kesalahan dalam dunia pendidikan. Masih ingat bukan, dulu kalau ada anak yang tidak sesuai dengan aturan langsung disuruh berdiri di depan kelas, atau dilempar dengan penghapus dan lain-lain, pokoknya ga syik banget deh. makanya banyak diantara mereka yang tumbuh menjadi orang (yang kata murid) saya nggak sholih banget loh bu....
satu hati satu cerita. satu kebahagiaan yang saya rasakan, satu kebaikan yang saya lakukan, satu manfaat untuk orang lain, itu standar minimalnya. Tetapi seringnya, Alloh memberikan saya berlebih: banyak kebaikan, banyak manfaat dan banyak kebahagiaan pastinya.
Kalau banyak orang bilang stres karena pekerjaan,oh..tunggu dulu...itu tidak berlaku untuk saya. Ketika saya tulis ini, saya hampir setahun membersamai murid saya. Anak yang satu dengan anak yang lain selalu ada cerita  berkesan. Dan saya dan murid saya pasti tak akan melupakannya. 
Mengajar itu wisata hati. Saat hati suntuk, "galau", saat itu pula akan hilang seketika.
Anda tidak percaya, cobalah mengajar dari hati! Dijamin ketagihan.

Korupsinya Sang “Guru”



Halo Sobat, kali ini saya akan berbicara tentang profesi  akhlak seorang guru. Beberapa hari yang lalu ada bazaar buku di depan Perpustakaan Daerah kami. Buku – bukunya bagus dan harganya terjangkau. Saya dan salah seorang penanggungjawab perpustakaan di tempat kami bekerja membeli buku dengan jumlah yang lumayan banyak., biasa, untuk persiapan tahun ajaran baru.
Selang tiga hari kemudian, saya datang dengan patner saya mengajar, kami beli buku untuk walimurid yang selama ini aktif menulis tanggapan di buku komunikasi, dengan uang kami sendiri karena sekolah tidak ada program atau anggaran seperti itu. Waktu itu ada dua orang ibu guru, bajunya coklat – coklat yang juga sedang membeli beberapa buku. Katanya begini kepada sang penjual buku: “Mas, ini ditulis di nota, trus saya minta nota kosong yang ada tanda tangannya sampeyan,trus dikasih stempel”. Saya melongo, tapi pura – pura nggak dengar. “Notanya tinggal dua bu, untuk mbaknya (saya) dan untuk ibu”,jawab sang penjual buku sambil menulis nota buat saya. “Wah…gimana sih…lha itu nota kosongnya mau untuk nulis lagi buku – buku yang sudah tak beli, buat mencairkan dana. Harganya yang bukan harga diskon. Biar aku dapat untung, lha kalo begini ni, aku ya nggak dapat untung to maaas, dah capek, kehilangan bensin lagi”, tutur Sang Guru marah – marah. Sang penjual diam sambil menulis. Teman saya yang baru setahun menjadi guru berbisik, “Astaghfirulloh…kalau seperti itu berarti nggak jujur ya?”. Saya termenung, setelah kami membayar buku itu, kami kembali ke sekolah.
Sedih dan kecewa, jelas itu yang saya rasakan. Seorang guru yang mentalnya seperti koruptor. Bagaimana ia mendidik murid – muridnya? Apakah beliau mendidik seperti yang ia lakukan? Saya lalu merenung, apa yang terjadi barusan, sangat berbeda jauh dengan “sekolah” tempat kami mengajar dan mendidik. Di sekolah kami, semua anggaran sudah jelas berapa dan untuk apa,setiap akhir semester dilaporkan. Semua sudah diposkan sesuai dengan pos yang telah ada. Tak ada uang lelah ataupun uang bensin. Tak ada tambahan uang kecuali bonus-bonus yang sudah ditentukan di awal  tahun dengan dewan sekolah. Semuanya jelas. Tidak ada yang protes. Tidak ada yang mengeluh. Tetapi disitulah letak barokahnya. Disitulah letak pahalanya. Disitulah letak “kenikmatan perjuangannya”. Disitulah letak keseriusan untuk menjadi sebenar – benar guru. Sebenar-benar pendidik. Bukan sekedar transver materi tanpa ada “ruh” di dalamnya. Saya masih ingat nasehat dari seorang ustadz ketika mengisi acara pembinaan di sekolah kami, “Jadilah guru yang berorientasi akhirat”, niscaya anda akan beruntung dunia dan akhirat. Kalau Anda menjadi guru hanya berorientasi dunia, maka anda akan kelelahan seiring dengan usia anda yang selalu bertambah, dan Anda di akhirat kelak tidak mendapat apa – apa kecuali penyesalan. Salam hangat taman pendidikan.

Senin, 03 Juni 2013

Anak Anda, Anak Siapa?



Anak. Kehadirannya begitu dinanti. Seiring dengan usianya yang terus bertambah, tidak sedikit orangtua yang merasa “repot” ngurusi anak (apalagi mendidik). Alkisah, ada seorang anak yang begitu “aktif” di sekolah. Terkadang membentak Bu Gurunya, memukul kepala Bu Gurunya,atau mengintimidasi temannya. Jika berkemauan harus langsung dituruti.  Sebenarnya saya sebagai salah seorang gurunya masih bisa menanganinya. Tapi saat saya membaca buku penghubung (buku komunikasi guru – orangtua), saya kok merasa aneh. Seakan anak ini diatas angin. Orangtuanya kewalahan. Saya berfikir, anak ini cerdas, pintar, cantik lagi, alangkah lebih membahagiakan jika lebih “shalihah” lagi. Akhirnya kami tawarkan fasilitas sekolah untuk konsultasi dengan psikolog  / konselor sekolah. Kami, guru kelasnya menganalisa(cieee…gayanya), anak ini sepertinya “aktif” karena pola didiknya yang mungkin saja ada yang perlu dibenahi, bukan pada diri sang anak, misalkan gangguan pusat perhatian atau hiperaktif. Kami memilihkan konselor kami, sekaligus pendiri sekolah ini,16 tahun yang lalu.
“Pola didiknya ada yang kurang tepat, anak ini sebagian besar waktunya dihabiskan dengan neneknya. Jika pagi, sang anak (dengan sudah dalam keadaan rapi) dijemput  ibunya, diantar ke sekolah. Pulang sekolah, “dititipkan” sama neneknya yang rumahnya terpisah beberapa desa. Maghrib kadang pulang kadang menginap. Kalau sama neneknya, apa – apa dituruti. Pergaulannya tidak bisa dipantau. Saya menyarankan  kepada ibu dari anak ini untuk “mengambil alih” kewajiban  mengasuh, mendidik anaknya. Kalau tidak, ia akan “kehilangan” anaknya. Punya anak, tapi serasa punya anak.”. Itu penjelasan konselor kami setelah konsultasi usai.
Kami sebagai gurupun dituntut untuk selalu memantau. Di buku komunikasi, kami merekomendasikan sang ibu untuk melakukan aktifitas bersama yang disukai sang anak. Kami buatkan list tentang kegiatan murid kami itu. Selain itu juga terus memotivasi anak tersebut untuk main bersama ibunya, mengaji dll. Kalau neneknya rindu, neneknyalah yang datang. Singkat cerita, perubahan itu terjadi. Kami semua bersyukur untuk itu.
Anak Anda, Anak siapa? Tentu saja titipan Tuhan. Tapi siapa yang dititipi? Bukankah ia dititipkan Tuhan didalam rahim Anda?Anak Anda, anak Siapa? Ya anak Andalah. Andalah yang harus merawatnya. Andalah yang berkewajiban untuk mendidik. Dan Tuhan kelak akan bertanya tentang bagaimana anda mendidik. Nah, yuk kita bertanya pada diri kita, sudahkah kita menjadi sebenar-benar ayah? Sudahkah kita menjadi ibu yang sebenar – benar ibu? Tanyakan pada hati Anda, ia lebih tahu dan lebih jujur.

Minggu, 02 Juni 2013

Dalam Diamku



Aku, diam – diam terluka
Dan engkau tidak menyadari.
Aku, diam – diam merasakan kegetiran
Dan engkau tidak paham.
Aku, diam – diam menangis
Dan engkau tidak akan menggubris
Aku diam – diam berduka
Dan engkau tak merasa.
Sehari menyimpan satu luka,
Bahkan lebih.
Engkau tak pernah tahu
Engkau tak pernah paham
Engkau tak pernah mengerti
Bahwa cinta ini
Melukai hati.
Tidakkah engkau menyadari
Bahwa wanita ingin dimengerti??