Halo
Sobat, kali ini saya akan berbicara tentang profesi akhlak seorang guru. Beberapa hari yang lalu
ada bazaar buku di depan Perpustakaan Daerah kami. Buku – bukunya bagus dan
harganya terjangkau. Saya dan salah seorang penanggungjawab perpustakaan di
tempat kami bekerja membeli buku dengan jumlah yang lumayan banyak., biasa,
untuk persiapan tahun ajaran baru.
Selang
tiga hari kemudian, saya datang dengan patner saya mengajar, kami beli buku
untuk walimurid yang selama ini aktif menulis tanggapan di buku komunikasi,
dengan uang kami sendiri karena sekolah tidak ada program atau anggaran seperti
itu. Waktu itu ada dua orang ibu guru, bajunya coklat – coklat yang juga sedang
membeli beberapa buku. Katanya begini kepada sang penjual buku: “Mas, ini
ditulis di nota, trus saya minta nota kosong yang ada tanda tangannya
sampeyan,trus dikasih stempel”. Saya melongo, tapi pura – pura nggak dengar. “Notanya
tinggal dua bu, untuk mbaknya (saya) dan untuk ibu”,jawab sang penjual buku
sambil menulis nota buat saya. “Wah…gimana sih…lha itu nota kosongnya mau untuk
nulis lagi buku – buku yang sudah tak beli, buat mencairkan dana. Harganya yang
bukan harga diskon. Biar aku dapat untung, lha kalo begini ni, aku ya nggak
dapat untung to maaas, dah capek, kehilangan bensin lagi”, tutur Sang Guru
marah – marah. Sang penjual diam sambil menulis. Teman saya yang baru setahun
menjadi guru berbisik, “Astaghfirulloh…kalau seperti itu berarti nggak jujur
ya?”. Saya termenung, setelah kami membayar buku itu, kami kembali ke sekolah.
Sedih
dan kecewa, jelas itu yang saya rasakan. Seorang guru yang mentalnya seperti
koruptor. Bagaimana ia mendidik murid – muridnya? Apakah beliau mendidik seperti
yang ia lakukan? Saya lalu merenung, apa yang terjadi barusan, sangat berbeda
jauh dengan “sekolah” tempat kami mengajar dan mendidik. Di sekolah kami, semua
anggaran sudah jelas berapa dan untuk apa,setiap akhir semester dilaporkan. Semua
sudah diposkan sesuai dengan pos yang telah ada. Tak ada uang lelah ataupun
uang bensin. Tak ada tambahan uang kecuali bonus-bonus yang sudah ditentukan di
awal tahun dengan dewan sekolah.
Semuanya jelas. Tidak ada yang protes. Tidak ada yang mengeluh. Tetapi
disitulah letak barokahnya. Disitulah letak pahalanya. Disitulah letak “kenikmatan
perjuangannya”. Disitulah letak keseriusan untuk menjadi sebenar – benar guru. Sebenar-benar
pendidik. Bukan sekedar transver materi tanpa ada “ruh” di dalamnya. Saya masih
ingat nasehat dari seorang ustadz ketika mengisi acara pembinaan di sekolah
kami, “Jadilah guru yang berorientasi akhirat”, niscaya anda akan beruntung
dunia dan akhirat. Kalau Anda menjadi guru hanya berorientasi dunia, maka anda
akan kelelahan seiring dengan usia anda yang selalu bertambah, dan Anda di
akhirat kelak tidak mendapat apa – apa kecuali penyesalan. Salam hangat taman
pendidikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar